“Pejuang Keadilan Melalui Sastra”
“Baiklah, kita bertemu di Teater Luwes di Institut Kesenian Jakarta pukul 4 sore ini”, kemudian telefon dimatikan dan saat ini saya sudah berada di tempat yang diberitahukan di telefon tadi. Ketika saya tiba ternyata sedang ada pagelaran festival teater yang di ikuti oleh beberapa kelompok. Pukul 18.00 tepat saya pun akhirnya bertemu dengan pria yang berbicara dengan saya di telefon tadi. Seorang pria yang identik dengan topi pet putihnya yang selalu menempel dikepalanya. Pria tersebut memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, namun publik lebih mengenalnya dengan panggilan Putu Wijaya. Sejak ,duduk di SMP ia mengaku sudah mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Menulis baginya seperti menggorok leher tanpa menyakiti, bahkan kalau bisa tanpa diketahui. Hingga saat ini sudah tidak terhitung lagi karyanya dan begitu juga penghargaan yang pernah ia terima dari kegiatan berkeseniannya. Ketika ia kecil dulu disaat dirinya sedang menggemari kegiatan kesenian orang tuanya sempat cemas, maka ia pernah berkata, tegurlah saya kalau dengan saya berkesenian justru mengganggu nilai-nilai pelajaran saya disekolah”, dan ia membuktikan dengan prestasinya di sekolah. Namun ketika harus memilih program studi yang akan diambil di perguruan tinggi dia memilih untuk mengambil program pendidikan yang tidak berkaitan dengan kegitannya sejak SMP, justru ia mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. “Orangtua saya berharap saya menjadi dokter, tapi dalam hal ilmu pasti saya tidak terlalu kuat”, ujarnya. Karena jaman dulu profesi yang umumnya diinginkan oleh sebagian besar orang tua agar anaknya memiliki masa depan yang cerah ialah menjadi insinyur, dokter atau misterenderchten yang saat ini dikenal dengan istilah sarjana hukum. Demi menyenangkan hati orang tuanya, beliau mendaftar di fakultas hukum, meskipun hati dan minatnya di bidang sastra akan tetapi ia juga tertarik dengan sejarah, problematika hukum dan fokus terhadap pelajaran itu semasa sekolah. Sikapnya seperti itu karena ia menghormati orang tua dan ingin menyenangkan orang tuanya sebagai perwujudan bakti anak terhadap orangtua. Namun ketika beberapa tahun kuliah, ternyata gelar misterenderechten di hapus dan diganti menjadi sarjana hukum, dengan kekecewaan yang cukup mendalam ia tetap menyelesaikan studinya hingga lulus. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin rasanya menyenangkan hati orang lain terus menerus, karena tentunya ia juga ingin menyenangkan dirinya sendiri. Setelah lulus kuliah ia berbicara dengan kedua orangtuanya, ”biarkan saya memilih jalan hidup saya sendiri dan melanjutkan apa yang saya mau, saya ingin fokus di bidang kesenian”. Kemudian ia memutuskan untuk ke Jakarta dan pada saat itu ia bekerja menjadi seorang wartawan dan aktif di pementasan drama. Sempat ada perasaan bersalah dalam dirinya kenapa ia tidak bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan. Kemudian ia mengutarakan hal ini kepada seorang teman dan memberikan pendapat yang membuat dirinya lega, ”mensosialisasikan pendidikan itu tidak harus pada bidangnya, apa yang kamu lakukan saat ini sebenarnya bisa dijadikan kelanjutan apa yang telah kamu pelajari, menegakkan keadilan tidak harus selalu dimeja hijau, akan tetapi melalui media lain juga bisa seperti sastra”. Maka dari itu pada prakteknya dalam tulisannnya ia mengaku juga banyak yang menceritakan tentang penegakkan keadilan dan mengenai kebenaran, hanya medianya yang berbeda.
Sebagai seorang sarjana hukum ia memiliki pandangan mengenai hukum yang berlaku di negara kita ini, menurut dirinya sejak dulu ia tidak percaya bahwa hukum dinegara kita bisa menyelesaikan permasalahan hukum dengan baik. Karena menurutnya selalu ada campur tangan dari dalam maupun dari luar sehingga hukum tidak bisa di tegakkan secara sempurna. Dilihat dari budaya masyarakat kita bahwa masyarakat feodal, masyarakat timur yang suka harmoni, tidak suka berperkara, dan kebiasaan dari masyarakat kita itu suka membela teman maupun saudara yang menyebabkan peristiwa hukum menjadi sesuatu yang menegangkan, menambah permusuhan sehingga peristiwa hukum itu lebih sering dihindari. Dan juga dasar hukum negara kita ini masih warisan dari Belanda, maka dari itu ia masih kurang percaya dengan hukum positif yang berlaku di negara kita saat ini. Hal itu juga yang menjadikan alasan dirinya untuk tidak terjun ke bidang hukum lebih jauh. Hukum tidak kuat karena pelaksanaannya berjalan sangat lemah, sehingga hukum tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena bisa di interupsi dengan hal-hal lain seperti kekuasaan, politik, ekonomi, kekeluargaan sehingga hukum tidak bisa ditegakkan. Misalkan setiap orang yang berada diluar perkara selalu berkata untuk tegakkan hukum dan keadilan, sedangkan ketika sedang berperkara dia melakukan jalur pintas, menghalalkan segala cara sehingga hukum tidak jalan. Sering orang menegakkan hukum dengan cara yang tidak sesuai dengan jalur hukum. Jika temannya yang berperkara dibela habis-habisan, sedangkan jika orang lain dia mana peduli. Sebenernya hukum secara materi yang ada saat ini tidak salah, cuma oknum dan aparatnya yang menurut saya salah. Manusianya sendiri yang tidak ada keinginan untuk menegakkan hukum, hukum demi kepentingannya baru dia tegakkan sedangkan jika untuk orang lain mana peduli, bukan hanya dibidang hukum saja, tapi segala hal, demokrasi pun seperti itu. ketika kita bersinggungan dengan orang lain kita menjunjung tinggi hak kita, sedangkan kita tidak memperdulikan hak orang lain. Seperti ada pendapat yang mengatakan hukum itu ibaratnya pedang bermata dua, yang secara harfiah bisa diartikan bahwa hukum itu bisa membela seseorang yang memang seharusnya dibela, namun hukum juga bisa menjatuhkan seseorang yang seharusnya dibela. Dalam hal ini menurut saya tergantung seseorang dibalik pedang itu, misalkan contoh paling sederhana ialah pisau dapur, jika dipergunakan sebaik mungkin dan digunakan oleh seorang ibu untuk memasak maka tidak mungkin pisau itu akan menyakiti orang lain, lain hal apabila pisau itu digunakan oleh seorang penjahat justru pisau itu akan mematikan dan membahayakan orang lain. Pada dasarnya moralitas kita yang memang belum terbentuk secara baik, moralitas kita masih sakit. Moralitas kita tidak terurus dengan baik. Karena pendidikan moral kita dibiarkan tidak terurus dengan baik. Banyak yang bilang moralitas kita dapat dibentuk dan diluruskan dengan agama. Agama memang bisa, tapi sering juga para pemuka agama yang memiliki intepretasi dan kepentingan sehingga ajaran agamanya pun jadi menyeleweng dan itu dilakukan hanya demi kepentingannya pribadi. Hal tersebut yang menyebabkan moralitas kita tidak sehat. Menurut beliau perundangan yang berlaku saat ini juga terlalu banyak dan terlalu rumit sehingga masyarakat awam pun dibuat bingung karena terlalu banyaknya peraturan. Menurutnya apabila moralitas kita sehat bagaimana pun sederhananya peraturan kita pasti akan jalan, seperti UUD 1945, banyak yang bilang UUD 1945 kita terlalu sederhana, menurut dirinya bukan itu permasalahannya, sederhana itu bagus karena dengan sesederhana itu bisa melahirkan peraturan-peraturan lainnya. Kita manusia memang sakit, termasuk saya begitu juga anda. Kita sebagai anak bangsa ini memang sedang sakit, ketidakseimbangan dimana-mana. Di negeri ini semua orang melanggar hukum. Kita harus mengadakan suatu pencucian besar-besaran dari bawah ke atas. Selama ini kita hanya melihat keatas dan menyatakan bahwa diatas kotor, tapi kita lupa untuk melihat ke bawah, sebenarnya di bawah juga kotor. Maka itu saya bilang kita sakit sama-sama, tidak ada yang bisa menolong kalau kita semua sakit. Siapa yang bisa menyembuhkan kita? Setelah masa reformasi dulu yang ditawarkan untuk memperbaiki bangsa kita hanya dua hal yaitu stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Tidak pernah disebutkan stabilitas hukum dan kebudayaan. Dan dua hal tersebut menjadi primadona saat ini sehingga semua orang ingin jadi pengusaha dan politikus, keduanya bersatu dan mereka yang menguasai negara kita, tanpa ada uang tidak bisa menang dan kemenangan menghasilkan uang. Perihal kebudayaan dan hukum itu bisa disatupadukan. Kita harus menanamkan di dalam diri kita untuk menghargai hak dan kewajiban seseorang. Hukum itu sederhana, jika kita sudah bisa menghargai hak dan kewajiban seseorang dan tahu batasannya maka hukum di negara kita bisa ditegakkan sebagaimana mustinya. Jika kita mau bersama-sama dan bergotong-royong untuk membersihkan moralitas kita, maka perlahan bangsa ini akan membaik.
Setelah ia memutuskan untuk tidak terjun ke bidang hukum, ia memutuskan untuk fokus dibidang kesenian. Pada saat itu ia menyadari bahwa kehidupan seniman itu tidak menjanjikan apa-apa, belum menjamin kehidupan saya kecuali menjadi seniman yang profesional. Menjadi seorang seniman profesional itu tidak mudah, maka dari itu saya hanya berkesenian. Tujuan saya berkesenian itu hanya untuk berekspresi, seperti dalam seni teater, drama, mengarang. Bukan berkesenian untuk menjadikan tujuan kehidupan dan untuk menghidupi diri saya bahkan justru saya yang terkadang menghidupi kesenian itu sendiri. “Pekerjaan saya itu apa saja, saya pernah menjadi wartawan, menjadi juri apapun itu. Saya itu ibarat pemulung, dimana ada sampah-sampah yang mungkin masíh ada sisa makanan saya ambil”. Dalam hal berkesenian banyak seniman yang berkarya mengikuti kemauan produser, dalam hal ini ia mempunyai dua pendapat yaitu kesenian sebagai barang komoditi dan kesenian sebagai bentuk ekspresi. Kesenian sebagai barang komoditi itu bagian dari industri dan memang harus mengikuti pasar, apa yang diminta pasar maka itu yang dibuat dan itu bisa dijadikan sebagai pekerjaan, sedangkan seni sebagai bentuk ekspresi tidak melihat pasar, hanya sebatas bentuk ekspresi seseorang dan tidak berharap mendapat keuntungan secara materi. Dua hal tersebut memang sangat bertolak belakang, bentuk seni sebagai komoditi bisa mengantarkan seseorang menjadi kaya raya, sedangkan seni sebagai ekspresi hanya mengantarkan nama seseorang dikenal dan karyanya di akui. Tapi ada kemungkinan dua hal tersebut menyatu juga seperti film Laskar Pelangi dan Naga Bonar, kedua film tersebut mendapat keuntungan banyak dari segi materi, sedangkan dari sisi seni sebagai ekspresi juga diakui karyanya oleh pemerhati seni. Sangat jarang ditemukan kondisi dimana para kritikus dan masyarakat umum saling jalan bersamaan. Banyak juga karya yang laku tapi dari segi kualitas sama sekali tidak diakui, begitu juga sebaliknya karya yang nilai seninya diakui sedangkan dari segi materi tidak mendapat apa-apa. Dalam hal ini menurut beliau hanya ada satu kata yang bisa menjadi penengah diantara dua kondisi tersebut yaitu kompromi. Banyak yang menganggap kompromi itu satu kekalahan, dimana kita memberikan kesempatan kepada orang lain bahwa pemikiran kita ditawar dan kita mengikuti pasar. Kalau menurut saya kompromi itu kemenangan. Karena kita berhadapan dengan orang banyak, kita berekspresi itu pasti akan bertemu dengan penikmat, peminat dan penggemar kita, tidak mungkin kita bisa berkomunikasi secara baik dengan mereka kalau kita tidak memperhatikan mereka. Maka dari itu ide kita yang murni dari imajinasi kita harus kita berikan bumbu-bumbu yang terkadang harus memotong ide awal dan menambah dengan segala bumbu lain yang harus kita adaptasikan dari selera masyarakat. Kita perlu mengemas karya tersebut seolah-olah kita berekspresi untuk mereka, sebenarnya kita sedang berekspresi untuk diri kita sendiri tapi kita menolong ekspresi kita supaya dapat menggigit dengan telak siapa yang akan dijumpai oleh ekspresi tersebut. Ia mempelajari hal ini ketika ia menjadi wartawan, “tidak mungkin rasanya saya menulis menunggu mood saya sedangkan waktu terus berjalan dan tidak mungkin saya menulis hanya sesuatu yang saya suka secara pribadi, saya harus mengikuti apa yang dikatakan oleh pimpinan redaksi”. Kompromi itu juga bisa diartikan dengan tekanan, tekanan itu merupakan suatu tenaga rahasia yang bisa membuat kita untuk melakukan suatu hal yang tidak pernah bisa kita lakukan dalam keadaan biasa, jadi kompromi itu luar biasa tenaganya. Jika tidak ada kompromi atau tekanan tersebut kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang maksimal. Saya termasuk individu yang menganggap kata kompromi sebagai suatu kemenangan. Baginya tidak ada masalah perihal karyanya itu lebih ke komoditi atau sekedar ekspresi, tapi kompromi itu ada batasnya. pernah ia mendapatkan penawaran dari satu produser dengan segala tuntutannya, pada saat itu menganggap ini tantangan, ia coba untuk memenuhi permintaan dari produser tersebut dengan segala tuntutannnya”. Ia coba buat satu cerita sesuai keinginannya, ketika sudah selesai ia coba berikan materi yang telah ia buat, tapi si produser menyatakan ketidakpuasannya, “kurang action”, ujar produser tersebut. Lalu ia coba revisi kembali dan menyerahkan materi yang sudah coba ia perbaiki, dan produser tersebut tetap menuntut perubahan dari materinya, “kurang adegan sensual”, katanya. Maka ia memutuskan untuk menghentikan proyeknya itu dan ia kembalikan uang si produser tersebut. “Buat apa saya mendapatkan uang banyak tapi karya saya tidak diakui, uang habis karya juga tidak diakui”, ia tidak mau jika dimakan bulat-bulat dengan kompromi sendiri. “Produser itu kan umumnya hanya pedagang biasa yang mau meraup keuntungan, walaupun katanya produser tersebut memiliki ide cerita dan sebagainya, sebenarnya tujuan utamanya hanya materi”.
Perihal selera pasar kita yang katanya lebih suka dengan film horor, sensual, sinetronnya juga seperti yang kita lihat sekarang, infotainment yang menjual sensasi itu tolak ukurnya darimana? Apakah masyarakat kita haus akan sensasi dan ingin tampil di televisi? Saya sering menerima sms dari rekan politikus yag menginformasikan bahwa ia masuk televisi. Apakah benar orang indonesia seleranya seperti ini? Jika Indonesia ini terdiri dari dua ratus dua puluh juta jiwa penduduk sedangkan menurut info suatu film berhasil ditonton oleh lima ribu jiwa. Apakah sebanding dua ratus dua puluh juta jiwa tersebut di representasikan dengan lima ribu jiwa tersebut. Itu hanya pendapat dari sang produser yang notabene hanya ingin meraup keuntungan, jika dikatakan selera pasar itu hanya menurut dia, lebih tepatnya selera produsernya, lagipula juga pilihan yang ada hanya film-film seperti itu. “Saya percaya bahwa selera masyarakat Indonesia tidak serendah itu”. Pada suatu ketika nanti ketika stándar pendidikan, ekonomi, tingkat kritis masyarakat sudah merata kondisinya tidak akan separah ini walaupun masih tetap ada. Hal-hal yang berbau maksiat, mesum dan sensasi itu dimana-mana ada dan itu bagian dari romántika dan dialektika dari sebuah kehidupan, tapi semoga di masa depan tidak sedasyat saat ini, ibaratnya sebuah kebun apel yang sudah di semprot dengan anti hama akan tetapi tetap saja ada pohonnya yang buahnya masih di gerogoti ulat.
Kesenian kita sudah terlalu jauh masuk ke industri memasuki suatu keadaan yang berbahaya. Sikap kritis dari media sangat perlu dan hak-hak masyarakat juga perlu diperjuangkan. Rakyat sebgai penonton harus dilindungi dan mempunyai hak untuk mengatakan tidak terhadap acara yang tidak berkualitas. Buat apa berkeluh kesah menyatakan sinetronnya jelek tapi dia tidak melakukan apa-apa. Seharusnya kita sebagai indvidu yang hidup di negara hukum ini harus memperjuangkan hak dan kewajibannya. Seperti apa? misal, layangkan surat ke komisi penyiaran. Tuangkan segala kekesalan dan kritikannya agar televisi tidak menayangkan suatu program. Maka dari itu dirinya secara pribadi tidak setuju kalau lembaga sensor dihapuskan, karena diseluruh dunia ada sensor dan komisi penyiaran juga harus lebih tegas dalam hal menyeleksi program siaran yang pantas untuk di tayangkan di televisi. Di negara lain masyarakatnya sudah tumbuh kesadaran akan sensor. Meskipun beberapa negara tidak memiliki lembaga sensor, tapi parental guide dan masyarakat sudah mensensor hal yang tidak baik misal dalam penggunaan kata, jika ada kata-kata kasar suaranya di hilangkan dan ada jam-jam tertentu dalam hal penayangan program televisi. Sedangkan disini, “saya ingat betul ketika anak saya masih berumur dibawah 10 tahun saat itu dan saya menonton film Batman yang tertera batas umurnya itu umur 13 tahun, “Saya tanya keamanannya apakah anak saya boleh masuk karena belum berumur 13 tahun?”Jawaban dari orang tersebut “yah terserah bapak”. Apa itu? Apakah keuntungan secara materi lebih penting daripada moralitas?Seperti reality show, di pertunjukkan secara jelas mereka berkelahi dan caci memaki dan itu semua hanyalah kebohongan. Moral apa ini?ikatan moral kita untuk menjaga moral dan masa depan bangsa ini sudah tidak ada, program seperti itu hanya mendatangkan duit saja sedangkan masalah pendidikan yang bisa diambil tidak ada, yang penting profit dari iklan. Kecintaan akan materi itu sudah mencuci otak kita seolah materi itu segalanya. “Maka dari itu kita butuh hukum, hukum dan segala peraturannya itu tidak menyiksa kita, justru memberikan arahan kepada kita apa yang pantas kita lakukan atau tidak”, karena selama ini sebagian besar orang mengangap hukum itu membatasi bagaikan pedang yang melarang dan membelenggu kita”, ujar penggemar Led Zeppelín dan Deep Purple ini.
niat awalnya ialah mewawancarai seorang christine hakim. tapi apa daya beliau nampaknya sedang sibuk dengan syuting eat,pray, love saat itu. disaat dedy mizwar menggantungkan dan memberikan janji-janji palsu, saat itu saya sedang berada di taman ismail marzuki dan melihat seorang pria yang tidak pernah lepas dari topi petnya sedang melangkah terburu-buru. segera saya berlari mengejar beliau dan menanyakan nomor telepon beliau. keesokan harinya saya coba hubungi nomor yang beliau kasih, saya utarakan maksuda saya dan lusa saya sudah berada di teater mini IKJ. awal wawancara saya sedikit kebingan karena beliau tidak mau menjawab pertanyaan yg sifatnya data. dengan sedikit memutar otak akhirnya sesi wawancara pun berhasil diselesaikan dengan hasil yang menurut saya maksimal.